4 Langkah Mengumpulkan Uang untuk Kuliah di Luar Negeri

‘Apa bisa?’

Itu pertanyaan papa saya waktu saya bilang ke beliau kalau saya mau kuliah di luar negeri tapi nggak pakai beasiswa alias bayar sendiri. Beliau kuatir saya gagal. Beliau juga kuatir saya akan susah di negeri orang.

Waktu itu saya cuma jawab dengan, ‘Ya, nggak tau, Pa! Belum dicoba. Kita lihat aja nanti!’

Kalau ditanya sekarang, setelah hampir setengah tahun menyelesaikan kuliah, jawabannya sudah bisa diganti dengan, ‘Bisa dong!’

Ketika saya mengatakan bahwa saya kuliah tanpa beasiswa, itu juga berarti bahwa saya pergi tanpa beasiswa dari Yayasan Kasih Sayang Ayah Bunda. Orang tua saya tidak memberikan saya uang sepeser pun ketika saya berangkat untuk kuliah ke Norwegia. Uda (adik papa) saya memang waktu itu memberikan uang jajan, tapi sampai sekarang pun belum saya sentuh… (kemudian obrak-abrik, itu kemarin duit-nya ditaruh di mana ya?)

Meminjam uang dari sanak keluarga ataupun bank merupakan salah satu cara. Namun, saya juga tidak melakukan kedua hal tersebut.

Kalau ditanya: gimana dong caranya supaya bisa bayar sendiri uang kuliah dan seluruh biaya terkait lainnya (seperti biaya tempat tinggal, makan, buku, transport, hiburan dan biaya tak terduga lainnya)?

Saya tahu persis, pada kenyataannya pergi kuliah ke luar negeri dengan biaya sendiri itu nggak gampang sama sekali. Tapi, bukan berarti nggak mungkin. Sulit, tapi tidak mustahil.

Kata orang, saya ini beruntung. Kata orang, tidak semua orang bisa melakukan hal ini. Mungkin memang begitu. Jujur saja, saya tidak tahu pastinya bagaimana.

Akan tetapi, saya percaya bahwa semesta mendukung (“mestakung”). Ketika kita benar-benar memfokuskan diri dan tekun untuk mencapai suatu target, menyusun strategi dan mengambil langkah-langkah kecil untuk mendekatkan kita pada tujuan yang ingin kita capai tersebut, saya yakin bahwa semesta bekerja untuk membantu kita mewujudkan mimpi-mimpi kita menjadi kenyataan.

Mengutip perkataan Yohanes Surya, ‘Mestakung hanya bekerja ketika kita tekun.’ Saya sendiri tidak berasal dari keluarga yang berada, biasa-biasa saja (read: pas-pasan). Strategi dan langkah-langkah yang saya ambil pun bisa dibilang nggak canggih-canggih amat! Selama empat setengah tahun bekerja di kantor konsultan hukum, saya tetap ingat tujuan saya dan berusaha mewujudnyatakan apa yang saya impikan.

Photo by Alexander Mils from Pexels

Yuk cek siasat apa saja yang sudah terbukti berhasil saya lakukan hingga akhirnya mengumpulkan uang untuk membiayai kuliah di Norwegia!

1. Konsisten

Seperti kata Yohanes Surya yang sudah saya kutip di atas, kunci yang paling utama waktu saya menabung adalah tekun. Kalau dalam kamus saya pribadi: konsisten.

Gaji pertama saya waktu mulai bekerja pada bulan November 2012 bisa dibilang relatif kecil – bahkan nggak bisa beli hp canggih masa kini hanya dengan sebulan gaji. Belum lagi biaya hidup di Jakarta tergolong tinggi.

Akan tetapi, saya sudah mulai menabung 50% dari gaji saya setiap bulan. Kedengarannya ekstrim memang. Tapi tidak berarti harus kaku, terutama ketika ada kebutuhan-kebutuhan tertentu di luar dugaan. Kalau saya biasanya di dalam dugaan sih, karena memang saya demen jalan-jalan dan kadang pengeluaran untuk gadget bisa sangat tinggi. Meskipun demikian, saya memastikan bahwa tidak ada alasan untuk tidak menabung. Kalau memang kebutuhan bulan ini sangat banyak sehingga harus menabung lebih sedikit, ya bulan depan balik lagi menabung 50%. Begitu seterusnya.

Dari hasil menabung yang konsisten tersebutlah saya akhirnya bisa mengumpulkan uang yang saya butuhkan. Seperti kata pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.

2. Prioritas

Gimana mau nabung kalau kebutuhan hidup banyak banget sementara pendapatan biasa-biasa saja? Hm kalau hanya mau “hidup” saja sih, sesungguhnya kebutuhan kita sebagai manusia untuk hidup secara normal seharusnya nggak banyak-banyak banget.

Sandang, pangan dan papan. Kalau semua itu sudah terpenuhi, tentu kita bisa hidup. Apa adanya.

Yang jadi masalah adalah kita sering banyak mau. Wajar! Namanya juga manusia. Saya pun begitu. Ingin ini, ingin itu, banyak sekali!

Tidak peduli seberapa banyak uang yang kita dapatkan – kalau kita tidak merasa cukup, ya tidak akan cukup; kalau kita tidak pintar-pintar dalam mengaturnya, tentu selalu merasa seperti tak punya uang. Apalagi kalau sampai lebih besar pasak daripada tiang. Prioritas tentunya diperlukan untuk mengontrol gaya hidup saya.

Berbeda orang, tentu prioritasnya berbeda. Nah, saya sendiri membuat target seberapa banyak (berapa persen) uang yang saya tabung setiap bulannya. Sisanya baru saya gunakan untuk memenuhi keperluan sehari-hari seperti yang sudah direncanakan. Bukan sebaliknya, loh!

Kalau dulu saya hanya menabung apa yang tersisa dari gaji bulanan saya dikurangi dengan uang yang saya gunakan dalam sebulan tersebut, bisa-bisa saya tidak menabung apapun atau menabung sangat sedikit. Apakah hal tersebut terdengar familiar kepada teman-teman pembaca?

Di tengah kemajuan zaman ini – ketika kita lewat sosial media melihat teman-teman pakai barang dengan merk ini, nongkrong di cafe itu, jalan-jalan ke sana kemari, lumrah kalau kita juga kepengen. Tapi kalau saya ikuti semua, kapan saya bisa mengumpulkan uang untuk kuliah? Ya, tentu saja akan mustahil atau bisa jadi lama sekali baru kesampaian. Tapi saya selalu ingat prioritas saya supaya tidak mudah tergoda.

3. Investasi

Untuk para generasi milenial dan anak zaman, niscaya istilah ini tidak terdengar asing lagi, kan? Ada banyak pilihan investasi yang bisa dilakukan dan tentunya lebih menguntungkan dari sekedar menabung uang di bank apalagi di bawah tilam. Contohnya melalui deposito berjangka, saham, emas, sampai peer-to-peer lending yang kini sedang marak.

High risk high return. Semakin tinggi resiko dari investasi kita, semakin tinggi pula kemungkinan keuntungan yang kita dapatkan.

Saya sendiri pribadi lebih suka yang pasti-pasti. Selain itu saya tidak terlalu tertarik untuk menyimpan emas atau logam mulia.

Investasi yang paling pas bagi saya adalah deposito berjangka. Dengan memasukkan uang kita ke rekening deposito, kita tidak bisa menyentuh uang tersebut untuk waktu tertentu sehingga kita tidak selalu tergoda untuk menarik uang atau belanja online. Kalau dicairkan sebelum jatuh tempo, kita malah harus membayar penalti. Meskipun keuntungannya tidak setinggi apa yang dapat diberikan oleh investasi lainnya, kelebihan deposito adalah selain resikonya yang terbilang rendah, deposito adalah bentuk investasi yang cukup aman dan mudah untuk dilakukan.

4. Cari penghasilan tambahan atau pekerjaan sampingan

Yang satu ini sebenarnya tidak sepenuhnya saya lakukan pada akhirnya. Karena hampir putus asa akan gaji yang tak kunjung naik, saya sempat terpikir untuk mencari pekerjaan tambahan seperti jadi penerjemah lepas (freelancer) atau buka online shopping (kalau sekarang mungkin ingin jadi penyedia jasa titipan alias jastip hehe).

Saya juga mendaftar visa untuk berlibur dan bekerja di Australia karena saya ingin melakukan bekerja di sana. mengapa? Upah minimum per jamnya di negara kangguru tersebut termasuk yang paling tinggi di dunia untuk pekerjaan yang tergolong mudah.

Akan tetapi, sebelum pergi waktu itu gaji saya dinaikkan sekitar 100% oleh kantor saya yang lama. Jadi, uang yang saya butuhkan untuk kuliah di Norwegia sudah saya kumpulkan ketika masih  di Indonesia. Waktu akhirnya pergi ke Australia saya hanya bekerja sebagai baby sitter (au pair ) dan cleaner hanya agar tidak menghabiskan uang tabungan ketika jalan-jalan di sana.

Bersama dengan anak yang saya asuh di Perth, Australia tahun 2017.

Kalau kata pepatah, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan!” Mirip-miriplah dengan mengumpulkan uang buat kuliah di negeri orang. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, langkah-langkah di atas juga dapat digunakan untuk menabung uang dengan tujuan apapun, seperti jalan-jalan, biaya menikah, atau untuk beli rumah atau barang yang sudah diidam-idamkan sejak lama.

Saya percaya, selama kita tidak menyerah dan bekerja keras untuk mencapai impian kita, kita akan menemukan cara untuk bisa sampai ke sana. Setuju, nggak?!

NB: Coba tebak ada berapa pepatah yang saya gunakan dalam tulisan ini? 🙂

12 thoughts on “4 Langkah Mengumpulkan Uang untuk Kuliah di Luar Negeri

  1. Sangat menginspitasi. Aq gk nyangka u pernah jd baby sitter 😂😂😂… Semangat sis!!!

    Like

    1. Mauliate, Wardi. Jadi tukang cuci piring di restaurant pun aku pernah sebenarnya tapi cuma 2 hari 😂😂😂 Semangat juga buatmu, Wardi! Sukses dan sehat selalu ya!

      Like

  2. Kak Hanna.. ku terharu bacanya. Jika di ingat masa sma, KK tampak cewek tomboy yang gak tertebak ambisinya sekeren itu. Wow habis… Semoga ada target2 lainnya yg lbh menantang dan kk bisa lewati.. sukses di kampung org kak, semoga pulang2 jadi orang penting di Indonesia..

    Like

    1. Hallo Tina! Apa kabar dek? Hahaha waktu SMA mah belum ada ambisi gitu – masih sebatas kuliah di Jakarta ambisinyq hehe. Makasih ya Tin. Kau juga sukses ya 🙂

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.