Liberté et Ternate

Saya tiba di kota terbesar di Maluku Utara untuk kedua kalinya pada awal Februari 2017. Ternate. Kali pertama sebenarnya hanya untuk transit sebelum terbang kembali ke sebuah lokasi pertambangan emas untuk urusan pekerjaan. Jadi, tidak bisa dibilang mengunjungi, ya. Di kali kedua ini saya memutuskan untuk stay selama tiga hari, mengambil waktu bersantai sejenak dari hiruk-pikuk Big Durian. Tentunya saya juga ingin berkeliling dan mengeksplorasi pulau ini dan beberapa pulau di sekitar juga. Saya mau belajar lebih – setidaknya sedikit lebih dari cerita kesultanan Islam zaman baheula serta kejayaan dan kemasyuran rempah-rempah yang dulu saya baca di buku sejarah ketika duduk di bangku sekolah.

Beruntung. Begitu saya memandang diri saya. Klien saya setuju untuk membayar tiket keberangkatan, meski saya akan mendarat di Ternate tiga hari lebih awal dari jadwal yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tidak hanya itu, saya juga berkenalan dengan seseorang melalui platform Couchsurfing yang menjadi tuan rumah saya waktu itu.

‘Eh, ngomong-ngomong, gue bakal ke Jakarta di hari yang sama pas lo nyampe ke sini. Sorry ya, gue juga baru tahu nih… Tapi, nggak usah khawatir, gue masih akan jemput lo dulu dari bandara, kok, dan lo tetep bisa stay sama keluarga gue. Gue balik dari Jakarta sebelum lo cabut, jadi kita bisa hangout sebelum lo ke Halmahera. Oh iya, gue juga udah ngehubungin Couchsurfer lainnya di sini. Namanya Pia, calon dokter dia. Lagi internship di Ternate. Katanya dia bakal nemenin lo pas dia lagi nggak kerja. OK ya?’ begitu kata host saya beberapa saat sebelum keberangkatan saya.

Di hari ketibaan saya, host saya yang baik hati sudah menunggu saya di luar Bandara Sultan Babullah. Saya diantar ke rumahnya, dikenalkan dengan keluarganya. Kemudian pergi lagi ke airport untuk mengejar penerbangan ke ke ibukota.

Si calon dokter (sekarang sudah dokter) ini juga baik sekali kepada saya. Kami klik! Meski baru bersua, kami berbagi cerita seakan sudah lama berkenalan. Selain mengobrol, Pia juga membawa saya ke tempat-tempat yang paling instagramable di Ternate. Di akhir pertemuan pertama kami, dia menyampaikan bahwa dia akan pergi ke Pulau Maitara di hari selanjutnya bersama teman-teman internship. Saya pun diundang turut, yang tentunya saya iyakan. 

Meeting point kami di Pelabuhan Bastiong. Sambil menunggu bot yang akan membawa kami bertolak menuju Pantai Maitara, kami tentu saja berkenalan. Pelabuhan Bastiong bisa dibilang cukup kecil, namun ramai dan padat. Banyak orang berlalu lalang di hadapan kami yang duduk di bawah pohon, berbincang-bincang sambil menyantap donat kampung yang kami beli di depan rumah penduduk sekitar dengan harga seribuan.

Jadi, kenapa akhirnya memilih Ternate?’ tanya saya selagi berada di atas kapal karena memang penasaran apa motivasi Pia dan teman-temannya.

Well, tentunya saya tidak ingat lagi siapa yang pastinya mengatakan apa. Tapi, saya masih ingat jelas esensi perbincangan kami kala itu. Intinya, di samping internship dan membantu masyarakat sekitar, mereka ingin menikmati apa yang dinamakan “island life” dan kesederhanaannya.

Gajinya sih nggak seberapa ya!’ ungkap mereka. Mereka menyebutkan jumlah imbalan yang mereka terima perbulannya, serta perbandingannya dengan apa yang teman-teman mereka dapatkan di program yang sama di kota-kota yang lebih besar. Jelas bagi saya bahwa uang bukanlah tujuan mereka.

Bisa berenang di laut yang biru, bermain dan berjemur di pantai-pantai yang lengang, mendaki gunung dan bukit yang dapat diakses dengan mudah dan murah, tentunya terdengar menarik bagi sebagian orang. Termasuk saya. I would kill to have that luxury. Yes, luxury… Kemewahan. Meski jauh dari kekayaan secara material.

Tapi yang lebih mewah lagi yang saya tangkap dari obrolan kami waktu itu adalah kebebasan. Kebebasan untuk memilih apa yang seseorang ingin lakukan, tanpa takut soal uang dan tanpa mementingkan hal-hal lainnya yang bersifat material. Selain itu, saya juga diingatkan tentang perasaan cukup. Meski yang kita punya tidak seberapa dibandingkan dengan orang lain, bukankah kita bisa tetap bahagia ketika kita merasa bahwa pilihan kita dan apa yang kita punya cukup bagi kita?

Ngomong-ngomong soal kebebasan, sejak lama saya memang suka gagasan kebebasan untuk memilih dan secara finansial. Kedua-duanya saya suka. Namun, sejak saya lulus kuliah, saya lebih tidak mau menjadi beban finansial bagi siapapun, termasuk orang tua saya. Tujuan saya (waktu itu) adalah tidak menjadi tanggungan keluarga, dengan cara hidup dan bekerja (lebih dari) penuh waktu di Jakarta. Ini yang memberikan saya stabilitas.

Akan tetapi lama-kelamaan setelah bekerja dan bisa membiayai diri sendiri dengan cukup, tidak bisa dipungkiri saya jadi takut sekali untuk keluar dari zona nyaman. Ini yang sebenarnya menjadi kegalauan berkepanjangan saya selama setahun sebelumnya. Ke Australia dan lanjut kuliah, atau lanjut kerja di Jakarta?

Mundur sedikit ke akhir tahun 2015, waktu itu saya memperoleh visa berlibur dan bekerja (WHV) dari pemerintah Australia. Alasan awalnya kenapa saya mau pindah ke Down Under? Uang! Meskipun, in my defense, uangnya untuk membiayai studi saya kelak. 

Akan tetapi, sebelum saya berangkat untuk pergi ke negeri kangguru, gaji saya naik sehingga cukup untuk saya sisihkan ke pundi-pundi sekolah. Karena itu, setelah mengantongi WHV-nya, saya malah tidak mau lagi pindah ke Australia, meskipun dalam hati saya tertarik sekali. Kenapa? Uang. Saya bisa memperoleh uang yang cukup di Jakarta, jadi kenapa repot-repot pergi ke tempat lain untuk tujuan yang sama. Selain itu, meskipun nantinya saya bisa mendapatkan pekerjaan di Australia, mungkin saya tidak akan menghasilkan sebanyak apa yang sudah saya dapatkan di Jakarta. Tidak berhenti sampai di situ, saya kemudian sempat ragu juga apa benar mau melanjutkan kuliah. Tahu kenapa? Tidak ada jaminan bahwa saya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih baik setelah memiliki gelar master di belakang nama saya, kan?! Lagi-lagi, uang. (Geez, I literally rolled my eyes when I was writing this paragraph.

Mungkin waktu itu saya termasuk orang yang untuk sementara terkecoh, menyangka kebebasan secara finansial sama dengan kehidupan super nyaman dan tak kekurangan suatu apapun. Tapi, lagi-lagi saya beruntung karena saya akhirnya dikoreksi oleh diri saya sendiri.

Sepanjang jalan dari Pantai Maitara sampai ke puncak Maitara, isi kepala saya adalah tentang kebebasan untuk memilih. Tentu, sebisa mungkin saya ingin tetap bebas secara finansial. Akan tetapi, keinginan untuk bisa bebas memilih apa yang saya mau tanpa memusingkan soal uang rasanya lebih besar waktu itu. Lagi pula setelah saya pikir-pikir, toh dulunya pas masih mahasiswa di Depok, sampai akhirnya sudah kerja di bilangan Sudirman dan punya uang lebih, gaya hidup saya nggak pernah mewah. Secukupnya saja.

Meskipun saya maunya bebas secara finansial, makanan dan atap di rumah orang tua saya tetaplah jaring pengaman. Katakanlah semuanya gagal: saya tidak bisa dapat pekerjaan di Australia, atau setelah kuliah master saya malah nggak bisa dapat pekerjaan. Terus kenapa? Orang tua saya masih menerima saya dengan lapang dada, dan saya tidak berkeberatan untuk tinggal bersama mereka selama sebulan dua bulan, sambil menyusun strategi ke depan dan sedikit membantu mereka di tempat kerja mereka.

di Puncak Maitara.

Sambil memandang Pulau Ternate dari atas puncak Maitara, saya mantap memutuskan untuk tetap melanjutkan studi dengan biaya sendiri, dan sebelum melanjutkan studi, saya mau jalan-jalan di Australia dulu.

Atau mungkin, saya ke Australia dulu, coba-coba cari pekerjaan, kalau cocok mungkin betah dan malah lanjut kuliah di sana saja. Pokoknya, ke Australia dulu, lihat-lihat dan yang pasti, lanjut kuliah. Setelah itu, kita lihat saja nanti. The possibilities are endless.

P.S. Mohon maaf, resolusi fotonya kurang bagus. Foto-foto dari Ternate kebanyakan di HDD dan HDD-nya terjebak di ruangan lama saya di kantor. Karena beda lantai, saya tidak diperbolehkan ke sana. Nanti setelah pandemik, semoga saya ingat untuk upload foto dari Ternate lebih banyak lagi.

6 thoughts on “Liberté et Ternate

  1. Pengen banget ke Ternate! Indah banget keliatannya, tapi flight kesana aga susah ya dari Surabaya (karna base ku klo liburan di Indonesia selalu dari Surabaya). Kapan juga kesananya entah gara2 corona.

    Soal financial freedom, aku sama dengan kamu, kadang susah step out dari comfort zone karna udah “merasa” punya financial freedom yang kalau memilih jalan hidup lain, bisa bisa hilang itu perk dan privilegesnya.

    Like

    1. Harus sih ke Ternate dan Tidore. Banyak tempat yang indah. Keknya kalau di Tidore misalnya, stop di pinggir jalan aja cakep gitu lautnya hehe.

      Begitulah soal financial freedom. Tapi, sekarang aku sudah lebih berani sih. Semoga tetap berani sih nanti ke depannya kalau dihadapkan dengan situasi yang mirip.

      Like

  2. Ekspektasi baca tulisan tentang perjalanan, kenyataan malah baca tentang pelajaran hidup 🙂 thank you for writing this.

    Like

  3. Ternate… Mutiara dari Maluku Utara; terakhir ke sini karena “terdampar” 11 jam 😀 😀

    Sangat indah. Selalu mengundang untuk kembali lagi, dan melanjutkan perjalanan ke Tidore hingga Morotai.

    Salam kenal, mbak

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.