Selama hampir dua bulan ini, kantor tempat saya bekerja memberlakukan yang namanya rotating schedule. Minggu ini kerja di kantor, minggu depan kerja dari rumah, begitu seterusnya.
Kenapa masih kerja dari kantor di masa seperti ini? Karena sama seperti kantor hukum lainnya, pekerjaan kami malah nggak begitu berkurang di tengah pandemic ini. Di tengah masalah lah justru kami hadir dan menghasilkan dollar (well, actually Euro dan Poundsterling juga). Huahahaha *bayangkan gaya ketawa nenek lampir*
Sebenarnya orang-orang di kantor kami disarankan untuk sebisa mungkin menghindari transportasi publik. Kami disarankan untuk naik sepeda, mobil, helikopter, jet, getek, mesin waktu, terbang pakai baling-baling bambu, atau jalan kaki ke kantor. Apa aja boleh, asal nggak naik bus, S-Bahn, U-Bahn atau kereta regional yang juga digunakan oleh khalayak ramai secara bersamaan.
Opsi yang saya miliki selain naik S-Bahn atau U-Bahn ke kantor hanyalah jalan kaki atau naik city bike (hallo, sobat misqinqu!). Yang saya nggak suka dari jalan kaki atau naik sepeda adalah keringatan. Saya orangnya memang keringetan parah, duduk saja berkeringat (gross!). Masa’ ke kantor masih pagi udah bau dan lecek? Nah, BC selalu menyarankan saya untuk bawa baju ganti saja. Apakah saya dengarkan? Tentu. Tapi tidak saya turuti karena malas jadilah saya naik S-Bahn.
Oh ya, bagi yang belum terlalu familiar, S-Bahn itu singkatan dari Stadtschnellbahn dalam Bahasa Jerman yang kalau diterjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia adalah kereta api cepat kota. Di Hamburg sendiri ada beberapa lini S-Bahn yang beroperasi dan menghubungkan daerah-daerah suburban sekitar kota dan hanya melewati kota hanya di bagian pusatnya saja. Mirip dengan KRL Commuter Line yang menghubungkan Jakarta dengan beberapa kota satelitnya.
U-Bahn, alias Untergrundbahn, sendiri adalah kereta urban di Jerman. Track-nya bisa ditemukan di berbagai bagian kota, bukan hanya di pusat saja. Secara teknis, nama U-Bahn ini seharusnya hanya untuk kereta yang beroperasi underground. Pada kenyataannya, banyak juga rel U-Bahn yang “melayang” di atas tanah. Konsepnya mirip MRT di Jakarta.
Akhir-akhir ini, banyak hal yang tidak biasa yang menjadi biasa yang harus diterapkan secara umum atau pribadi di ruang publik. Apa saja hal-hal yang merupakan the new normal ketika menggunakan fasilitas transportasi umum di Hamburg?
Wajib Pakai Masker
Setelah sekian lama waktu berlalu dengan perdebatan soal pakai masker perlu atau tidak, akhirnya sejak Senin minggu ini, pengguna transportasi umum di Hamburg wajib menggunakan masker wajah ketika berada dalam kendaraan maupun stasiun / halte.

Akhir minggu lalu, BC bilang pada saya untuk tidak lupa menggunakan masker waktu naik S-Bahn. Saya pikir itu cuma himbauan dia saja. Waktu saya keluar rumah Senin, saya ingat bahwa masker saya ketinggalan. Tapi mengingat apartemen saya ada di lantai 4 (kalau di Indonesia lantai 5), niat saya untuk menjemput si masker saya urungkan.
Tahu-tahu, pas saya tiba di stasiun S-Bahn dekat apartemen saya, ada pengumuman lewat toa yang bilang bahwa using a facemask is mandatory for passengers. Saya takut kena denda, tapi takut terlambat juga. Akhirnya saya putuskan untuk tetap naik S-Bahn tanpa masker.
Eh, ketika sudah mendekati kantor, dua orang polisi mendatangi saya dan menanyakan mengapa saya tidak pakai masker. Saya jelaskan saja bahwa saya tidak tahu bahwa pakai masker sudah wajib dan polisi tersebut mengatakan bahwa saya harus keluar dari kereta di stasiun selanjutnya karena saya tidak menggunakan masker.
Jujur, saya tidak tahu berapa jumlah dendanya kalau tidak menggunakan masker di transportasi publik di Hamburg. Tapi, dari beberapa artikel yang saya baca di internet, negara bagian Bavaria misalnya mengenakan denda sejumlah EUR 150. Meski mungkin tidak ada denda, mulai Senin sore saya sudah memastikan untuk menggunakan masker sebelum keluar rumah atau kantor, jadi tidak lupa ketika berada di stasiun.
Jaga Jarak Antar Penumpang serta Antar Sopir dan Penumpang
Yang ini mungkin terjadi di mana-mana sekarang. Meski sudah hampir dua bulan, tapi tetap terasa aneh bagi saya. Penumpang harus berdiri atau duduk dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari orang lainnya yang tidak tinggal serumah juga ketika berada di kendaraan umum. Kereta, bus dan tempat pemberhentian rasanya tidak pernah sekosong saat ini, bahkan di jam-jam sibuk sekalipun.
Khusus untuk bus di Hamburg, penumpang seharusnya naik bus menggunakan pintu depan (terutama di luar rush hour dan di luar pusat kota) karena mesin untuk memindai tiket, kartu atau app kita ada di dekat pintu depan. Selain itu, bagi mereka yang belum memiliki tiket diperbolehkan untuk membeli tiket pada sopir yang duduk di seberang pintu depan. Namun, sejak Corona menyerbu negara ini, penumpang tidak boleh lagi menggunakan pintu depan atau menggunakan bagian depan bus. Untuk memperjelas, diberikan tanda juga berupa tulisan dan pita merah putih di bagian yang dilarang untuk didekati penumpang.

Kreatif untuk Membuka Pintu
Semua orang tahu bahwa menekan tombol untuk membuka pintu kendaraan umum harus dihindari di masa sekarang ini. Tombol yang sama tentu disentuh banyak orang lainnya, jadi berpotensi untuk menulari kita dengan virus. Tapi kalau nggak ditekan, bagaimana caranya kita untuk masuk ke dalam kendaraan?
Selama dua bulan terakhir saya mencoba beberapa cara kreatif untuk menekan tombol ini. Saya juga melihat semakin banyak penumpang yang menggunakan sarung tangan karet atau plastik guna memencet tombol ini. Menggunakan sarung tangan sekali pakai tidak terlalu menarik untuk saya karena takutnya nanti hanya berakhir di TPA.
Awalnya saya menggunakan punggung tangan atau siku. Akhir-akhir ini, saya memutuskan untuk melakukan hal yang sedikit berbeda, yaitu dengan menggunakan lutut saya a la knee strike. Entah kenapa menurut saya gerakan ini lebih fun, sekalian melatih kelenturan tubuh dan kebugaran juga. Rasanya ingin mencoba pake gerakan jump kick juga, tapi takut dikira vandal. Hehehe.
Bagaimana dengan kalian? Ada hal baru yang menjadi the new normal-kah terkait corona dan transportasi umum di tempat kalian tinggal? Kalau mau berbagi sila tinggalkan pesan di kotak komentar ya.
Stay healthy!
Kalau di Den Haag mirip2 ya seperti di Hamburg kecuali pemakaian masker wajib. Sampe sekarang pemerintah Belanda belom mewajibkan soalnya. Di bus, pintu depan ditutup dan ada tape merah juga yang memisahkan penumpang dan sopir. Terus kalau di tram, tramnya berhenti di semua stop dan pintu dibuka secara otomatis jadi kita ga usah pegang2 lagi. Di bus masih harus pencet tombol stop untuk memberhentikan bus. Jam operasional tram juga jadi dikit banget. Sebelum jam 7 malam, tram hanya jalan tiap 20 menit sekali (4x per jam). Biasanya tram ada tiap 10 menit sekali. Terus setelah jam 7 malam dan weekend, tram cuma muncul tiap setengah jam sekali.
LikeLike
Iya ya. Di sini katanya wajib pake masker untuk melindungi orang lain. Maskernya nggak ada ketentuannya harus seperti apa. Nggak harus yang surgery atau pake standard kesehatan yang gimana. Jadi bisa pake syal atau kitchen paper pake iket rambut gapapa asal nutupin idung dan mulut. Hari ini kami sekantor dapat masker kain gratis dari kantor 🙂
Nah, itu bagus banget sih yang pintunya nggak harus dipencet lagi jadi ngurangin resiko kan. Ini pacarku bilang kalau S-Bahn yang keretanya masih baru, pintunya kebuka sendiri. Tapi yang ke apartemenku kayanya cuma kereta yang tua aja yang lewat huhu…
LikeLike
Oh iya disini juga banyak banget iklan untuk jaga jarak, kalo bersin/batuk di tempat umum harus ditutupi pake siku, dan mengurangi pergi ke luar kalo gak perlu2 amat.
LikeLike
Stay healthy ya Crys!
LikeLike
Sudah dua bulan ini aku juga naik sepeda ke kantor, sempat naik metro sesekali, yang kosong banget melompong. Disini hampir ngga ada orang pake masker. Ngga umum banget
LikeLiked by 1 person
Iya di sini juga masker baru wajib 3 hari. Kata banyak orang di sekitarku, sebenernya ngaruh ataupun nggaknya mereka udah nggak mau terlalu pusingin. Karena sudah diwajibkan seperti ini dan juga mungkin mengurangi risiko kita menularkan virus ke orang lain, ya sudah mending pakai saja.
LikeLike
Perdana komen dimari. Salam kenal. Menarik kisah new normal disana ya. Semua penghuni dunia beradaptasi. Kalau disini masih terbagi dua antara yg beradaptasi dan belum. Cuma yg unik ada gerakan sejuta masker saat ada penimbunan. Jadi masker malah mulai jadi bagian dari trend. Bertaburan masker lucu2 dijual atau dibagikan gratis. Yg saya lihat masy Indonesia mmg sgt kreatif dan kuat rasa gotong-royongnya di masa2 pandemi. Apalagi bila sistemnya diserahkan ke pasar bkn monopoli…
LikeLike
Hallo, pertama-tama, salam kenal juga 🙂 terima kasih juga untuk komennya.
Di sini belum ada gerakan semacam gerakan sejuta masker sih, karena baru-baru ini saja menjadi wajib. Itu pun hanya ketika berasa di transportasi umum atau di dalam pertokoan. Namun demikian, kadang bisa ditemui petugas keamanan di pintu mall yang sedang berdiri sambil mengecek pengunjung dan memberikan masker sekali pakai bagi yang tidak membawa. Uniknya kadang maskernya ini berupa karton tebal berbentuk kerucut, mirip seperti topi ulang tahun 😅
Masker dengan motif lucu masih jarang sih saya temui dijual, karena kebanyakan masker kain ini dibuat dari kain sisaan jahitan. Namun yang menarik adalah ketika melihat toko-toko kecil (misalnya tukang jahit, dry cleaning bahkan bakery) yang juga berjualan masker kain untuk menambah penghasilan. Selain itu, beberapa komunitas imigran juga menjual masker kain ini. Saya dan pacar sesekali beli kalau pas lihat. Dalam hati berharap mereka bisa mendapatkan sedikit keuntungan dari jualan masker 🙂
LikeLike
Wah masker berbentuk kerucut. Menarik sekali. Ya masker memang substitusinya banyak. Mudah dibuat juga. Terima kasih sharingnya.
LikeLike